PGRI

............

Nasional

Energizing Indonesia dari Akar Mangrove: Dari Pesisir Sungsang Menuju Ekosistem Hijau Net Zero Emission 2060

Di pesisir Sungsang yang kerap dihantam abrasi, warga, jurnalis, akademisi, dan industri migas menanam bukan sekadar pohon. Mereka menanam energi hijau-energi yang diyakini mampu menopang transisi energi nasional, mendukung perdagangan karbon dunia, dan menjaga warisan ekosistem menuju Indonesia Net Zero Emission 2060.

SumselMedia.com, Banyuasin-

Deru speed boat membelah Sungai Musi, membawa rombongan jurnalis menuju Dermaga Desa Wisata Sungsang IV, Banyuasin. Hutan nipah berjejer di kiri-kanan, angin asin laut menyapa, dan wajah-wajah penuh semangat menatap jauh ke muara. Mereka tidak hanya datang untuk meliput, tetapi juga ikut menanam harapan: bibit-bibit mangrove yang kelak menjadi benteng pesisir dan sumber energi hijau masa depan.

(Rombongan jurnalis dan perwakilan industri migas menyusuri Sungai Musi dengan speed boat menuju Desa Wisata Sungsang IV, Banyuasin. Perjalanan ini menjadi awal misi menanam energi hijau melalui mangrove)

Di Balai Kesenian Tradisional, warga menyambut hangat dengan tarian barung migran dan kalung khas nipah. Kamera dan buku catatan ditinggalkan sejenak. Dengan kaki berlumur lumpur, jurnalis, warga, dan perwakilan industri migas berganti peran: menancapkan bibit mangrove di tepian sungai. Tawa ringan bercampur peluh menjadi saksi bahwa energi keberlanjutan bisa lahir dari akar sederhana.

(Warga Desa Wisata Sungsang IV menyambut kedatangan rombongan dengan tarian burung migran dan kalung nipah. Tradisi lokal berpadu dengan semangat menanam energi hijau)

Samsul: Dari Takut Ombak ke Tenang Bersama Mangrove

“Dulu ombak besar sempat menghantam rumah tetangga saya 2020-an. Kalau tidak ada mangrove, mungkin kampung ini sudah hilang sebagian,” kenang Samsul (50), nelayan yang sejak kecil hidup di Sungsang, Selasa (19/8/2025).

Bagi Samsul, mangrove bukan sekadar pohon. Ia adalah pagar kehidupan. “Sekarang kami lebih tenang. Anak saya bisa ikut melaut tanpa rasa takut lagi,” tuturnya.

Pengalaman Samsul menggambarkan betapa vitalnya mangrove di Sungsang-desa pesisir yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka. Sistem perakarannya menahan abrasi, gelombang, sekaligus memberi rumah bagi udang, kepiting, dan ikan yang menjadi sumber penghidupan nelayan.

(Seorang istri nelayan di Desa Sungsang IV mengurai jaring untuk membantu suaminya)

Benteng Hijau dan Karbon Biru

Abrasi dan perubahan iklim sudah lama dirasakan warga Sungsang. Perasaan kecemasan hingga keberlanjutan desa ini terus diupayakan. “Kami butuh benteng alam yang kuat. Mangrove ini energi kehidupan bagi nelayan, karena dari sinilah hasil laut kembali melimpah,” ujar Romi Adi Candra, Kepala Desa Sungsang IV.

Pengamat Lingkungan Assoc. Prof. Dr. Ian Kurniawan, ST., M.Eng., IPM., ASEAN Eng, ACPE menjelaskan potensi karbon biru dari pesisir Sumsel sangat besar. “Mangrove di Sungsang termasuk yang produktif. Satu hektare mangrove bisa menyerap karbon empat kali lebih banyak dibanding hutan tropis daratan. Jadi ketika industri migas ikut menanam mangrove, sebenarnya mereka ikut menyumbang pada agenda iklim global,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa mangrove bukan hanya ekologi, tetapi juga ekonomi. Dengan mangrove, nelayan mendapat hasil laut, anak muda bisa kembangkan wisata pesisir, dan negara mendapat kontribusi nyata untuk target Net Zero Emission 2060. Jadi ini program berlapis manfaat,” katanya.

Hal itu diperkuat oleh akademisi Tengku Zia Ulqodry, Ph.D, Kepala Laboratorium Bioekologi Kelautan Universitas Sriwijaya. Menurutnya, sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu, mangrove telah menjadi The Coastal Guardian (pelindung Pantai) bagi perairan Sungsang yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka, melalui sistem perakarannya yang khas dan ekstensif. Mangrove menjadi solusi hemat biaya sebagai sarana alami untuk pencegah banjir, pemecah gelombang, pencegah abrasi, hingga pencegah intrusi air laut di pesisir Sungsang. Keberadaan mangrove di pesisir juga berperan penting dalam menjaga stabilitas ekologi global terutama mitigasi perubahan iklim dalam penyerapan karbon global.

Hasil riset telah mengungkapkan mangrove dapat menyerap karbon dioksida sebanyak 3-5 kali lebih banyak daripada hutan daratan. Dengan demikian, mangrove dapat berperan penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu mencapai target Net Zero Emission 2060 yaitu emisi nol bersih pada tahun 2060. Menjaga mangrove juga selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goal) khususnya poin 13 tentang Perubahan Iklim (Climate Action) dan Poin 14 tentang Ekosistem Pesisir.

“Tidak semua daerah pesisir di Indonesia dianugerahi mangrove yang unik dengan keanekaragaman hayati dan multi-fungsinya. Besar harapan agar generasi muda di pesisir Sungsang dapat berperan aktif dan berpartisipasi dalam dalam menjaga ekosistem mangrove yang ada di pesisir sungsang, Banyuasin Sumatera Selatan. Jaga dan selamatkan mangrove, serta manfaatkan secara arif dan berkelanjutan. Mangrove is our Future,” tuturnya.

(Bibit mangrove yang sudah ditanam berjajar di tepian sungai Sungsang. Kelak, akar-akar ini menjadi benteng alami yang menahan abrasi sekaligus menyerap karbon biru)

Di level kebijakan, Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan Edward Chandra menegaskan data KLHK (2022) mencatat Indonesia memiliki 3,4 juta hektare ekosistem mangrove, terbesar di dunia. Sumatera Selatan sendiri memiliki lebih dari 170 ribu hektare meski sebagian besar sudah terdegradasi.

“Pelestarian mangrove harus menjadi perhatian bersama karena ekosistem ini memiliki fungsi vital, mulai dari menahan abrasi, menjaga keanekaragaman hayati, hingga memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir termasuk di Sumatera Selatan,” harapnya.

Industri Migas dan Transisi Energi

SKK Migas menegaskan bahwa kontribusinya tidak sebatas pada produksi energi fosil. “Kalau kita bicara energi masa depan, bukan hanya minyak dan gas. Mangrove ini menyimpan energi dalam bentuk blue carbon. Inilah wajah baru energi keberlanjutan,” ujar Safei Syafri, Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Sumbagsel.

Sejak tahun lalu, SKK Migas menanam 31.000 bibit mangrove di Sungsang dan tahun ini program kembali dilanjutkan. “Langkah kecil ini bisa menjadikan mangrove bukan hanya benteng pesisir tapi juga paru-paru dunia,” tambahnya.

Hal senada diungkapkan Hirmawan Eko Prabowo, Manager Field Relations & Community Enhancement South Sumatra Medco E&P Indonesia bahwa mangrove bukan sekadar tanaman, ia adalah penyerap napas kotor dunia. Dampaknya bukan hanya bagi lingkungan, tapi juga bernilai tambah untuk masyarakat sekitar.

“Transisi energi bukan hanya soal panel surya atau hidrogen. Tapi juga bagaimana industri migas membangun kesadaran lokal. Penanaman mangrove ini bagian dari energi hijau, bagian dari ekosistem energi baru terbarukan berbasis alam yang menopang perjalanan menuju Net Zero Emission Indonesia 2060,” ujarnya.

Generasi Muda Menyalakan Harapan

Harapan besar juga datang dari generasi pesisir. Ardiansyah (21), mahasiswa asal Sungsang, bermimpi menjadikan desanya sebagai destinasi wisata mangrove. “Kalau ini terwujud, anak-anak muda bisa pulang kampung dan tetap punya pekerjaan. Mangrove bukan hanya menjaga laut, tapi juga bisa membuka jalan ekonomi baru,” katanya bersemangat.

Bagi Ardiansyah, menanam mangrove bukan pekerjaan sampingan, tetapi investasi masa depan.

Dari sisi media, H. Octaf Riyadi, Ketua Forum Jurnalis Migas Sumsel, menegaskan makna program ini. “Energi bukan hanya di pipa dan kilang, tapi juga di lumpur pesisir. Ketika jurnalis, warga, dan industri migas menanam mangrove bersama, artinya kita ikut menyemai masa depan Indonesia,” katanya.

(Kapal-kapal kayu nelayan bersandar di tepian Desa Sungsang IV. Bagi warga pesisir, mangrove bukan hanya benteng alam, tetapi juga penjaga sumber ekonomi dari laut)

Energizing Indonesia dari Pesisir Sungsang

Senja perlahan turun di Sungsang. Bibit-bibit mangrove berdiri tegak di tepian sungai, menantang ombak dan waktu. Dari akar yang menancap di lumpur, lahir energi baru: energi keberlanjutan, energi sosial, energi harapan.

Di tepian Sungsang, setiap bibit yang ditanam bukan sekadar pohon, melainkan janji. Janji untuk menjaga laut, janji untuk melindungi bumi, dan janji untuk menyalakan energi hijau Indonesia.

Energizing Indonesia ternyata tidak selalu datang dari kilang dan pipa gas. Ia juga tumbuh diam-diam dari akar mangrove-yang mengikat tanah, menyerap karbon, menghidupi laut, dan menyalakan harapan bagi generasi mendatang.

Dari pesisir kecil ini, Indonesia sedang menulis bab baru: bahwa jalan menuju Net Zero Emission 2060 tidak hanya digerakkan oleh mesin dan teknologi, tetapi juga oleh akar-akar sederhana yang menegakkan kehidupan.

Back to top button